Culture

Cara Membaca Indikator Intensitas dan Elastisitas Energi (1)

Justifikasi "hemat energi" terhadap suatu negara yang nilai intensitas dan elastisitas energi nasionalnya rendah adalah tidak tepat. Sama halnya dengan vonis "boros energi" untuk yang angka intensitas dan elastisitas energinya besar. Dalam perspektif kebijakan makro, nilai intensitas dan elastisitas energi saat ini digunakan sebagai indikator efisien atau tidaknya suatu negara dalam penggunaan energi untuk mencapai produktifitas ekonominya. Hanya saja, sebaiknya indikator-indikator tersebut tidak digunakan sebagai parameter tunggal dalam menggambarkan tingkat efisiensi.

Intensitas energi didefinisikan sebagai rasio penggunaan energi terhadap produktivitas. Dalam sudut pandang ekonomi makro, produktivitas direpresentasikan oleh Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Intensitas energi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pola konsumsi energi, jenis teknologi, dan kebijakan. Jika ditinjau berdasarkan definisi, semakin besar nilai intensitas berarti tingkat penggunaan energi semakin tidak efisien. Sebaliknya, semakin kecil nilai intensitas menggambarkan tingkat penggunaan energi yang semakin efisien.


Gambar 1. Nelayan Larantuka memindahkan ikan layang hasil tangkapan.
Hipotesa seperti diatas memang benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Untuk Indonesia, yang secara geografis memiliki wilayah kepulauan tersebar dan banyak diantaranya merupakan daerah terpencil, kecilnya angka intensitas energi juga mengindikasikan keterbatasan akses terhadap jenis energi modern seperti listrik dan bahan bakar minyak (BBM).

Salah satu contohnya adalah sektor perikanan. Nelayan tangkap di daerah-daerah yang pasokan BBM-nya kadang terkendala seperti di Indonesia Timur, mengkonsumsi lebih sedikit BBM dibandingkan nelayan di wilayah barat khususnya Jawa. Akan tetapi dari sisi produktivitasnya justru lebih tinggi di Indonesia Timur ketimbang di Jawa. Kenapa bisa begitu?, selain karena potensi baharinya masih terjaga dengan baik, terbatasnya ketersediaan BBM di wilayah timur membentuk perilaku penangkapan ikan yang tidak menggantungkan sepenuhnya pada pasokan BBM. Kondisi itu juga mendorong kebiasaan hemat BBM, misalnya dengan mencari lokasi tangkap yang tidak terlalu jauh, atau dengan masuk ke arus laut sehingga mobilitas terbantu dan kerja mesin kapal tidak terlalu berat.
Gambar 2. Penimbangan cumi merah hasil tangkap di TPI Bakauheni

Saya ambil kondisi nelayan tangkap di Larantuka (Flores Timur) dan Bakauheni (Lampung Selatan) sebagai perbandingan. Riset kecil dan wawancara saya lakukan pada akhir September dan akhir November 2014 saat berkunjung ke daerah tersebut. Untuk kapal berkapasitas 2-3 GT (Gross Ton) yang menghabiskan sekira 60 liter solar dalam sekali melaut, nelayan Larantuka bisa mendapat rerata 200 kg  hingga 300 kg ikan layang dan nelayan Bakauheni memperoleh 20 kg cumi-cumi merah. Harga jual ikan layang di pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Larantuka saat itu adalah Rp 5.000,- per kg, sedang harga cumi-cumi merah di TPI Bakauheni Rp 30.000,- per kg. Dengan matematika sederhana dapat dihitung dan diketahui bahwa pendapatan kotor nelayan Larantuka kira-kira satu jutaan rupiah sekali melaut, sedang nelayan Bakauheni berkisar enam ratus ribu rupiah.

Jika dibandingkan intensitas energi kegiatan melaut nelayan di kedua wilayah tersebut, intensitas konsumsi energi di wilayah timur lebih rendah sehingga bisa dibilang lebih efisien. Jika kita tidak tahu kondisi dan realitas di lapangan, penilaian berdasarkan  angka intensitas energi an sich tidak akan dapat menjangkau bahwa sebetulnya ada masalah dalam ketersediaan (availability) energi di situ.

Lantas bagaimana caranya supaya kita bisa melihat lebih luas soalan dibalik angka intensitas energi?. Yaitu dengan turut mempertimbangkan besar elastisitas energinya.

Tidak ada komentar

Leave a Reply