Culture

CEO Hewlett-Packard Berbicara Peradaban Islam

Carleton S. (Carly) Fiorina. Chief executive officer of Hewlett-Packard Company from 1999 to 2005. She also served as chairman of the board from 2000 to 2005.

Bagaimana kira-kira pandangan seorang non-muslim terhadap peradaban Islam?. Jawabnya tentu tergantung pada sejauh mana obyektifitas penilaiannya terhadap sejarah dunia. Adalah Carleton S. (Carly) Fiorina, chief executive officer di Hewlett-Packard Company pada 1999 - 2005, salah satu diantara non-muslim yang mengungkapkan secara jujur mengenai kegemilangan peradaban Islam.

Dalam penutup pidatonya yang berjudul "Technology, Business and Our Way of Life: What's Next", Carly mengungkapkan betapa peradaban Islam telah menghasilkan berbagai inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesejahteraan bagi penduduknya selama berabad-abad. Dunia juga berhutang atas fondasi teknologi modern yang ada saat ini, sebagai warisan dari "peradaban langit" yang diwujudkan oleh sistem politik/pemerintahan profetik (Khilafah Islamiyah).

Berikut adalah kutipan pidato Carly yang disampaikan pada 26 september 2001 di Minneapolis, Amerika Serikat:

---
I’ll end by telling a story.

There was once a civilization that was the greatest in the world.

It was able to create a continental super-state that stretched from ocean to ocean, and from northern climes to tropics and deserts. Within its dominion lived hundreds of millions of people, of different creeds and ethnic origins.

One of its languages became the universal language of much of the world, the bridge between the peoples of a hundred lands. Its armies were made up of people of many nationalities, and its military protection allowed a degree of peace and prosperity that had never been known. The reach of this civilization’s commerce extended from Latin America to China, and everywhere in between.

And this civilization was driven more than anything, by invention. Its architects designed buildings that defied gravity. Its mathematicians created the algebra and algorithms that would enable the building of computers, and the creation of encryption. Its doctors examined the human body, and found new cures for disease. Its astronomers looked into the heavens, named the stars, and paved the way for space travel and exploration.

Its writers created thousands of stories. Stories of courage, romance and magic. Its poets wrote of love, when others before them were too steeped in fear to think of such things.

When other nations were afraid of ideas, this civilization thrived on them, and kept them alive. When censors threatened to wipe out knowledge from past civilizations, this civilization kept the knowledge alive, and passed it on to others.

While modern Western civilization shares many of these traits, the civilization I’m talking about was the Islamic world from the year 800 to 1600, which included the Ottoman Empire and the courts of Baghdad, Damascus and Cairo, and enlightened rulers like Suleiman the Magnificent.

Although we are often unaware of our indebtedness to this other civilization, its gifts are very much a part of our heritage. The technology industry would not exist without the contributions of Arab mathematicians. Sufi poet-philosophers like Rumi challenged our notions of self and truth. Leaders like Suleiman contributed to our notions of tolerance and civic leadership.

And perhaps we can learn a lesson from his example: It was leadership based on meritocracy, not inheritance. It was leadership that harnessed the full capabilities of a very diverse population–that included Christianity, Islamic, and Jewish traditions.

This kind of enlightened leadership —leadership that nurtured culture, sustainability, diversity and courage— led to 800 years of invention and prosperity.
----
Saya akan mengakhiri pidato ini dengan menceritakan sebuah kisah.

Dahulu pernah ada sebuah peradaban yang paling besar di dunia.

Peradaban itu mampu menciptakan negara adidaya yang terbentang dari samudera yang satu ke samudera lainnya, dan dari iklim es di utara hingga daerah tropis dan gurun pasir. Dalam kekuasaannya bernaung ratusan juta orang, dari berbagai kepercayaan dan beragam asal-usul etnis.

Salah satu bahasanya telah menjadi bahasa universal di berbagai belahan dunia, jembatan bagi orang-orang di ratusan negeri. Tentaranya terdiri atas orang-orang dari berbagai bangsa, dan perlindungan militernya telah menciptakanperdamaian dan kemakmuran yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jangkauan perniagaannya terbentang dari Amerika Latin hingga China, dan berbagai tempat di antara keduanya.

Dan peradaban ini didorong oleh berbagai penemuan. Para arsiteknya merancang bangunan yang mampu melawan gravitasi. Matematikawan menciptakan aljabar dan algoritma, yang memungkinkan pembangunan komputer, dan penciptaan enkripsi. Para dokter meneliti tubuh manusia, dan menemukan obat baru untuk penyakit. Para astronom mengamati langit, memberi nama bintang-bintang, dan membuka jalan bagi perjalanan dan eksplorasi antariksa.

Para sastrawan menciptakan ribuan kisah. Cerita keberanian, romansa dan keajaiban. Para penyair menulis tentang cinta. Sementara orang lain sebelum mereka terlalu takut untuk berpikir (dan berkreasi).

Ketika negeri lain menghindari ide-ide baru, peradaban ini justru berkembang pesat dengannya dan membuat ide-ide tersebut hidup. Saat sensor (oleh raja-raja Eropa -red.) mengancam untuk menghaous ilmu pengetahuan dari peradaban masa silam, peradaban ini justru menjaga ilmu pengetahuan tetap hidup, dan membagikannya kepada orang lain.

Peradaban modern Barat memiliki banyak kesamaan dengan sifat-sifat peradaban ini. Peradaban yang sedang saya bicarakan ini adalah dunia Islam dari tahun 800 hingga 1600, yang termasuk di dalamnya Kehilafahan Utsmani, peradilan Baghdad, Damaskus serta Kairo, dan penguasa yang tercerahkan seperti Khalifah Sulaiman al-Qonuni (Suleiman the Magnificent).

Meskipun kita sering tidak menyadari hutang budi kita kepada peradaban ini, sumbangsihnya yang sangat banyak terhadap warisan kita saat ini. Teknologi industri tidak akan pernah hadir tanpa kontribusi para matematikawan arab. Sufi penyair-filsuf seperti Rumi menantang pemikiran kita tentang diri dan kebenaran. Pemimpin seperti Sulaiman berkontribusi terhadap gagasan kita mengenai toleransi dan kepemimpinan sipil.

Dan mungkin kita bisa mempelajari teladan darinya (Sulaiman al-Qonuni -red.): kepemimpinannya ditentukan berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan pewarisan tahta. Itulah kepemimpinan yang merangkul potensi dari populasi yang sangat beragam termasuk Kristen, Islam, dan tradisi Yahudi.

Kepemimpinan yang tercerahkan ini —kepemimpinan yang memelihara kultur (Islam -red.), keberlanjutan, keanekaragaman dan keberanian— telah membawa pada 800 tahun yang penuh dengan penemuan dan kemakmuran.
---

Carly, dari sudut pandangnya sendiri, mengakui bahwa kemajuan dunia yang bahkan dinikmati hingga saat ini bermula dari peradaban Islam yang memimpin dunia. Jika ditelaah dari berbagai literatur sejarah Islam, ternyata kemajuan tersebut dihasilkan dari pelaksanaan Islam secara menyeluruh pada tataran individu hingga sistem kenegaraan. Tinggallah kita -sebagai muslim- yang harus menentukan arah. Apakah ingin mengembalikan Islam sebagai pemimpin peradaban dunia menggantikan peradaban Barat yang kapitalistik, atau tetap silau dengan modernitas Kapitalisme Barat (dengan segala kekacauan di yang ditimbulkannya)?. Pilihan ada di tangan kita. Dan pilihan itulah yang akan menentukan posisi kita di masa depan. Hidup dengan penuh keberkahan dan kemuliaan sebagai umat terbaik, atau hidup dengan penuh kehinaan sebagai bangsa terjajah.

Tidak ada komentar

Leave a Reply