Culture

Cadangkan Minyak Optimalkan Biofuel

Apa yang akan terjadi jika cadangan minyak kita terkuras habis dalam satu dekade ke depan?. Pertanyaan ini sekedar untuk mengingatkan bahwa ancaman terhadap ketahanan energi nasional sedang berada di depan mata. Menurut statistik energi tahun 2013, rasio cadangan–produksi (R/P) minyak bumi Indonesia hanya berkisar 11,1 tahun. Artinya jika dalam kurun waktu tersebut tidak ada penambahan cadangan terbukti (proven reserve), maka tidak akan ada lagi minyak bumi untuk dieksploitasi. Praktis, di masa itu kilang-kilang minyak akan kehilangan pasokan bahan baku domestik. Indonesia akan mengimpor seratus persen kebutuhan minyak mentah untuk diolah menjadi produk hilir seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), elpiji, dan lainnya.

Faktanya, sekarang ini porsi impor minyak nasional sudah cukup tinggi. Statistik minyak bumi menunjukkan, tingkat impor minyak mentah mencapai 34 persen dari total pasokan dalam negeri. Sedangkan untuk produk BBM, posisi impor terhadap konsumsi berada di kisaran 38 persen. Tren beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa jumlah serapan produk hilir minyak berupa produk BBM dan non-BBM hampir sama besar dengan tingkat suplainya. Kondisi ini perlu mendapat perhatian karena kecilnya selisih antara pasokan dan permintaan merupakan indikasi dari lemahnya tingkat ketersediaan energi.

Ketersediaan energi (energy availability) merupakan salah satu aspek dari ketahanan energi. Semakin rendah tingkat ketersediaan energi maka ketahanan energi suatu negara akan semakin rentan terhadap ancaman dan gangguan, baik dari dalam (internal factor) maupun dari luar (external factor).

Kita ambil satu contoh. Indonesia saat ini memiliki ketersediaan BBM berupa cadangan operasional rerata untuk 20 hari. Jika terjadi gangguan berupa bencana alam yang mengganggu berjalannya produksi kilang atau impor BBM, maka hanya selama itulah perekonomian –yang sangat bergantung pada BBM– dapat berlangsung. Selebihnya masyarakat terpaksa harus beralih ke jenis energi final lainnya untuk digunakan. Pertanyaannya kemudian, siapkah?.

Ketergantungan tinggi penduduk Indonesia terhadap energi berbasis fosil, khususnya produk turunan minyak bumi, merupakan soalan yang akan menjadi bumerang jika tidak segera dibereskan.

Bauran konsumsi energi penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh energi berbasis fosil, sebesar 95 persen. Produk minyak merupakan yang tertinggi digunakan dengan pangsa sekira 43 persen. Lebih dari 317 juta barrel minyak yang diserap per tahunnya dalam bentuk BBM. Sektor transportasi mengambil porsi mayoritas sekitar 230 juta barrel. Sedangkan volume impor BBM setara dengan 72 persen konsumsi sektor transportasi atau setengah dari total konsumsi nasional.

The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) memprediksi lonjakan impor BBM akan mencapai 70 persen dari total konsumsi pada tahun 2016. Hal ini didorong oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi yang memicu peningkatan kebutuhan energi secara signifikan. Sementara lifting minyak bumi diperkirakan tidak akan berbeda jauh dengan situasi saat ini.

Peningkatan konsumsi BBM dan energi lainnya tentu harus dibarengi dengan meningkatnya produktivitas ekonomi. Oleh karenanya harus ada perubahan pola konsumsi energi masyarakat. Saat ini penduduk Indonesia, khususnya yang tinggal di kota-kota besar, masih tergolong boros dalam pemakaian energi. Padatnya lalu lintas serta kemacetan di berbagai titik adalah salah satu gambaran terbuangnya energi secara sia-sia. Energi yang terpakai tidak berkontribusi positif terhadap peningkatan ekonomi secara makro.

Perubahan pola konsumsi energi –biasa disebut konservasi energi– dapat dilakukan sekarang juga, oleh siapa saja, dan di mana saja. Tujuan konservasi adalah menurunkan jumlah konsumsi energi tanpa mengurangi produktivitas. Akan tetapi, meski konservasi energi dapat dilakukan oleh semua orang, perlu adanya dukungan penuh pemerintah terhadap kegiatan ini. Misalnya dengan menyediakan transportasi publik yang nyaman dan memadai bagi warga kota, atau dengan memberi penghargaan berupa bonus insentif bagi warga yang mampu menurunkan tagihan listriknya secara konsisten.

Pengembangan juga harus dilakukan di sisi hulu. Tingginya impor energi tidak hanya disebabkan oleh kenaikan konsumsi, tapi juga kurangnya kapasitas kilang untuk mengolah minyak mentah. Ditinjau dari efektifitas biaya, impor BBM tentu akan lebih mahal daripada membeli bahan baku. Penghematan biaya akan menjadi kenyataan jika Indonesia memiliki kapasitas kilang yang lebih besar. Selain itu Indonesia juga belum mempunyai cadangan minyak strategis (Strategic Petroleum Reserve, SPR), baik berupa minyak mentah maupun BBM. Karenanya SPR harus menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah untuk direalisasikan.

Optimalisasi penggunaan biofuel juga perlu digiatkan agar beban impor berkurang. Kewajiban penggunaan bahan bakar nabati sebesar 10 persen melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 25 Tahun 2013 sudah mendapat sambutan baik dari para pemangku kepentingan. Sejak peraturan itu ditetapkan hingga akhir tahun 2014 nanti, volume impor BBM diperkirakan akan berkurang setidaknya 5 juta kiloliter dengan nilai tak kurang dari US$ 4 miliar.

Teknologi pengolahan biofuel yang kita miliki sudah cukup matang. Itu sebabnya diversifikasi energi melalui perluasan biofuel juga dapat menjadi andalan untuk mencapai target utilisasi energi baru terbarukan sebesar 25 persen di tahun 2025. Namun yang perlu diwaspadai adalah ketergantungan produksi biofuel terhadap satu jenis feedstock tertentu. Contohnya yaitu dominasi kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel saat ini. Oleh karena itu alternatif bahan baku nabati yang layak dikembangkan harus diperbanyak.

Dan sekali lagi, dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk mensinergikan sekaligus memberikan jaminan bagi para pemangku kepentingan. Harapannya, biofuel tidak hanya mensubstitusi bahan bakar konvensional tapi juga menjadi cadangan energi strategis.

Tidak ada komentar

Leave a Reply