Culture

Menyiapkan Bibit Manusia untuk Kelola Energi Berkelanjutan

Indonesia merupakan negeri yang diberkahi dengan banyak kekayaan alam. Bermacam sumber daya energi terdapat didalamnya. Minyak dan gas bumi, batubara, serta beragam sumber energi terbarukan yang berlimpah seperti tenaga air, surya, angin, biomassa, hingga lautan.


Energi berbasis fosil yang terdiri dari minyak bumi, gas alam, dan batubara sudah dimanfaatkan dalam skala yang sangat besar. Lebih dari 95 persen konsumsi energi nasional berasal dari energi tak terbarukan ini. Sayangnya, potensi besar lainnya yang berasal dari energi terbarukan belum dimanfaatkan secara optimal. Tenaga air merupakan yang terbesar dimanfaatkan dibandingkan energi terbarukan lainnya dengan persentase pemanfaatan sekitar 7,8 persen. Bioenergi telah termanfaatkan sebesar 5,2 persen dan panas bumi sebesar 4,5 persen. Sedangkan energi surya dan angin masih sangat kecil tingkat pemanfaatannya dibandingkan ketersediaan sumber dayanya.

Di sektor konsumsi, intensitas energi nasional berada di kisaran 0.55 GWh/Triliun Rupiah. Intensitas energi menggambarkan besarnya konsumsi energi yang digunakan untuk menghasilkan satu unit Gross Domestic Product (GDP). Dengan kata lain intensitas energi mengindikasikan seberapa efisien kita menggunakan energi dalam kegiatan ekonomi. Dibandingkan dengan negara lainnya yang sekelas –semisal Singapura, Malaysia, dan Thailand– intesitas energi Indonesia terbilang tinggi. Atau sederhananya, “boros”.

Realitas ini menunjukkan bahwa sesungguhnya saat ini Indonesia sedang kekurangan modal utama dalam pembangunan energi berkelanjutan, yaitu sumber daya manusia (SDM). Rendahnya kapasitas SDM tidak hanya berakibat pada terhambatnya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Selain itu, Indonesia juga akan menjadi pasar yang menguntungkan bagi tenaga-tenaga ahli energi dari luar. Terlebih di era pasar bebas mendatang. Pada akhirnya orang-orang Indonesia kembali hanya akan menjadi penonton atas perkembangan yang terjadi karena ketidakberdayaan dari sisi kapasitas untuk berkompetisi.

Padahal seyogyanya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Juga menentukan ke arah mana pembangunan nasional akan kita bawa. Bukan didikte oleh tenaga ahli dan konsultan asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa inisiatif pengembangan EBT dan efisiensi energi pada saat ini lebih banyak dimotori oleh institusi asing. Sebut saja World Bank, Asian Development Bank, USAID, dan semacamnya. Sementara SDM lokal lebih banyak menjadi pelaksana lapangan. Memang, di lembaga-lembaga itu juga ada orang Indonesia yang duduk di posisi manajerial. Akan tetapi mereka tak lepas dari agenda dan kepentingan institusi sebagai pemilik inisiatif sekaligus penyandang dana.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan penanaman pemahaman sejak dini bagi generasi penerus pembangunan. Anak-anak bangsa harus dibekali pemahaman serta kemampuan yang cukup agar bisa mengolah potensi negeri dan menggunakannya dengan bijak. Sehingga setiap aktifitas pemanfaatan energi akan selalu diiringi oleh misi efisiensi. Dengan begitu sustainabilitas energi akan terjaga. Oleh sebab itu perlu adanya program pembelajaran mengenai efisiensi energi serta energi baru terbarukan.

Mekanisme pembelajaran itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur formal maupun informal. Untuk jalur formal, pembelajaran dilakukan di sekolah-sekolah. Saat ini materi mengenai energi terbarukan dan efisiensi baru secara formal dipelajari di bangku kuliah. Tingkat kedalamannya pun beragam. Ada yang berupa sisipan materi kuliah tertentu, mata kuliah, hingga program studi. Sedangkan di tingkat pendidikan yang lebih rendah, tema ini masih jarang dikenalkan kepada siswa. Tapi ada pula beberapa sekolah yang menjadikan materi ini sebagai pelajaran ekstra kurikuler ataupun sebagai salah satu bidang minat dalam klub sains.

Ke depannya stakeholder pendidikan perlu merancang kurikulum EBT dan efisiensi energi secara matang dan implementatif-praktis untuk berbagai jenjang pendidikan. Materinya tentu saja disesuaikan dengan tingkatannya. Contohnya, di Taman Kanak-kanak (TK) siswa diajarkan kebiasaan hemat energi dan air dengan cara mematikan lampu dan keran air jika tidak dipakai. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) siswa dikenalkan dengan berbagai sumber energi, kegunaannya bagi manusia, serta melanjutkan kebiasaan hemat energi. Di Sekolah Menengah Pertama (SMP) siswa diajak untuk berkenalan dengan dasar pemanfaatan dan konversi energi. Untuk tingkat atas (SMA) siswa mulai membuat prototipe peralatan pemanfaatan energi, peralatan hemat energi, dan prinsip dasar menemukan sumber energi alternatif. Dan di Perguruan Tinggi (PT), diajarkan aspek teknis dan ekonomi yang lebih mendalam seperti yang sudah berjalan selama ini.

Untuk jalur informal, pembelajaran bisa dilakukan dengan mekanisme yang lebih beragam. Bisa melalui buku, internet, hingga lembaga pelatihan. Berbeda dengan jalur formal, mereka yang belajar di jalur informal adalah orang yang belum sempat mempelajari di jalur formal tapi tertarik untuk berpartisipasi mengembangkan EBT dan efisiensi energi. Kurikulum di lembaga pendidikan informal harus lebih berorientasi pada pemanfaatan potensi sumber daya energi lokal. Selain itu juga harus didukung oleh materi terkait pengelolaan finansial dan pendanaan. Dengan demikian masyarakat dapat secara mandiri melakukan pengelolaan dan inovasi.

Lagi-lagi, dukungan pemangku kepentingan dalam menyiapkan SDM berkualitas untuk mendukung program efisiensi energi dan diversifikasi melalui EBT sangat diperlukan. Mimpi besarnya, jika negeri ini mempunyai banyak SDM handal di bidang energi terbarukan dan efisiensi energi maka sebagian besar inisiatif pengembangan akan datang dari anak bangsa. Hasilnya bauran energi lebih seimbang, target elektrifikasi lebih cepat tercapai, potensi emisi gas rumah kaca dapat diminimalkan, dan perekonomian terangkat. Kalaupun nantinya SDM yang sudah memiliki kapasitas dan kompetensi ini tidak terjun di sektor energi, minimal mereka sudah memiliki kesadaran untuk mangkonsumsi energi secara bijak.

Tidak ada komentar

Leave a Reply