Culture

Merdeka Kita ...


Semua orang bisa bilang "MERDEKA!". Tapi apakah kita sudah merengkuh kemerdekaan sejati, tentu harus bisa dibuktikan secara kualitatif, bahkan kontemplatif. Tujuh puluh dua tahun berlalu sejak proklamasi kemerdekaan menjadi tapak awal perjalanan bangsa ini. Jika diibaratkan dengan sebuah entitas bisnis, usia tujuh dekade berarti kemapanan yang ditopang oleh sistem bisnis yang solid. Bisnis yang sudah mampu berjalan, mengembangkan diri, mengidentifikasi hingga menyelesaikan masalahnya sendiri dengan mekanisme yang tertata dengan baik. Lain cerita jika ibaratnya manusia.

Umur tujuh puluh dua tahun artinya sudah bau tanah. Maksudnya, kita sudah dekat pada Sang Maha Kuasa. Dekat dalam makna waktu pertemuan dengan-Nya. Juga dekat dalam makna idraaksilah billah. Kesadaran akan hubungan kita sebagai makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta, Allah subhanahu wa ta'ala, yang mengejawantah dalam kebijaksanaan pola pikir dan pola sikap. Itu sebabnya, biasanya orang yang sudah masuk level tujuh puluhan akan cenderung mendekatkan diri dengan Tuhan. Menilai segala problema hidup dengan sudut pandang ilahiyah.

Filosofi sebuah negara, tentu berbeda dengan filosofi individu maupun entitas bisnis. Sebuah negara yang telah 72 tahun lepas dari penjajahan fisik, mestinya sudah punya sistem pengelolaan aset yang matang sekaligus mendekatkan rakyatnya pada Ilahi. Sehingga yang jadi topik pembicaraan saat ini idealnya adalah peningkatan kesejahteraan lahir batin, bukan mencapai kesejahteraan. Saya percaya, mungkin anda juga, 72 tahun adalah waktu yang cukup untuk membentuk sebuah welfare state.Tapi kenapa kita belum sampai juga ke titik itu?.

Berpuluh tahun kita dibisiki jargon-jargon kemerdekaan. Merdeka secara fisik. Bebas dari kangkangan penjajah. Tidak lagi menghamba pada pemerintahan kolonial. Namun di sudut lain, kita masih terpenjara. Kekayaan alam yang berlimpah, hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Atau dijadikan sebagai jaminan hutang negara. Inilah kekayaan yang teramat sulit dinikmati oleh pemiliknya, rakyat. Rasa aman menjadi barang mahal. Taring manusia-manusia korup siap mencabik hak-hak publik. Merdekakah kita? Bangsa yang merdeka tentulah mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya. Tapi sayang, kita belum sampai ke titik itu.

Indonesia, tanah air yang kita cintai ini, merdeka atas nama Tuhan. Para pendahulu kita yang bertumpah-darah demi mengusir penjajah bersepakat, Tuhan-lah yang menganugerahi nikmat kemerdekaan. Pun undang-undang dasar negara ini mencatat demikian. Tapi dalam perjalananannya, melintas silih bergantinya penguasa, tak satupun nahkoda negeri yang menginsyafi bahwa takzim pada Tuhan tidak cukup hanya dengan ucap di bibir. Bahwa Tuhan memiliki taklif undang-undang untuk kita dengar dan taati. Undang-undang langit yang akan membedakan umat mulia dengan umat durhaka. Dengan inilah kita bisa merdeka seutuhnya.

Tidak ada komentar

Leave a Reply