Culture

Sustainabilitas Listrik Sampah Jakarta

Operasi pembangkit listrik tenaga sampah kota mengharuskan kontinuitas produksi sampah sebagai bagian dari mata rantai pasokan feedstock (bahan bakar). Tapi bagaimana jika program pengelolaan sampah di sisi hulu berhasil, sehingga volume pengiriman sampah ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) menurun? Bagaimana jika ada atau tidaknya pembangkit, ternyata tidak mempengaruhi pasokan listrik di Jakarta dan sekitarnya?

Aktivitas di TPST Bantar Gebang. [Sumber foto: Media Indonesia]
Provinsi DKI Jakarta sedang dalam proses untuk memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) pertamanya. PLTSa ini merupakan bagian dari intermediate treatment facility (ITF) yang dibangun oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro), perusahaan daerah milik Pemprov DKI, dengan dukungan Fortum Finlandia. Dalam konteks pembangunan energi nasional, keberadaan PLTSa dapat berperan dalam peningkatan pangsa energi non-fosil dalam bauran energi nasional. Namun demikian, ada beberapa titik persoalan yang perlu menjadi perhatian -khususnya oleh penentu kebijakan- agar sustainabilitas pembangkit ini tetap terjamin.

Feedstock Management

Isu strategis dalam pengelolaan sampah di DKI Jakarta adalah volume sampah yang terus meningkat serta bagaimana mereduksi timbulan sampah kota. Setidaknya, berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) 2013 - 2017 Dinas Kebersihan Provinsi, tersirat dua langkah besar. Pertama adalah pembangunan infratsruktur pengelolaan sampah, yaitu ITF dan TPST. Dan kedua, program reduksi sampah pada lingkup masyarakat atau sumber sampah.

Pembangunan ITF sedang dalam proses awal. Pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat juga sudah dilakukan. Yakni dengan memilah dan mendaur ulang sampah non-organik. Hanya saja, inisiatif di tengah masyarakat ini belum cukup berdampak mengurangi sampah. Sebabnya karena lebih dari setengah sampah Jakarta adalah limbah makanan (organik), dan tidak tertangani oleh pusat-pusat produksi kompos warga.

Sampai sini, saya sepakat bahwa keberadaan ITF memang diperlukan. Teknologi insinerasi yang akan dihadirkan juga dapat menekan volume sampah secara signifikan. Akan tetapi, ketika insinerasi ini disandingkan sebagai komponen pembangkit listrik persoalannya menjadi lain.

Keberlangsungan operasi pembangkit listrik mengharuskan keberlanjutan pasokan bahan bakar. Artinya, volume produksi sampah Jakarta bisa saja bertambah, tapi tidak boleh berkurang. Jika volume sampah yang dikirim ke ITF meningkat dan tidak dapat ditangani, bisa diatasi dengan penambahan kapasitas proses. Sedang kalau pasokan sampah berkurang, bisa berakibat pada gangguan operasi pembangkit. Padahal tidak mungkin kapasitas terpasang dikurangi.

Hal ini mengindikasikan bahwa PLTSa berpotensi menegasikan program 3R (reduce, reuse, recycle) yang telah lebih dulu ada dan dijalankan oleh Dinas Kebersihan. Bisa saja di kemudian hari program ini tidak lagi digunakan demi keberlangsungan pembangkit. Karena jika pengelolaan sampah di sisi hulu, di sumber sampahnya, berhasil maka investasi di PLTSa lah yang akan tersia-siakan.

Mana yang akan diprioritaskan? Bolanya ada pada Pemprov DKI Jakarta.

Soalan Tarif JBL

Isu lain seputar PLTSa Jakarta adalah soal tarif jual beli tenaga listrik (JBL) antara pengelola PLTSa dengan PLN. Jakpro yang diamanatkan membangun ITF di Sunter, Jakarta Utara, memasang harga jual US$ 14 sen per kWh. Sedangkan PLN hanya bisa membeli dengan harga US$ 5,9 –8 sen per kWh, sesuai dengan ketentuan harga acuan berbasis biaya pokok produksi (BPP) listrik wilayah pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM 12/2017.

Meski ruang negosiasi tarif JBL kembali terbuka pasca terbitnya Permen ESDM 50/2017 yang merevisi Permen 12/2017, ada faktor yang menyebabkan negosiasi harga akan menghadapi jalan terjal. Yaitu soal urgensi pasokan dari pembangkit listrik sampah ini terhadap sistem ketenagalistrikan di DKI Jakarta, dan Jawa pada umumnya.

Saat ini, sistem pembangkit yang ada sudah cukup untuk menopang kebutuhan beban listrik DKI Jakarta. Jakarta tidak kekurangan suplai listrik. PLN, sebagai entitas bisnis, tidak butuh-butuh amat tambahan listrik untuk dijual di Jakarta. Kalau listriknya kurang diperlukan, kenapa harus bayar dengan harga yang lebih tinggi? Begitu, sederhananya.

Jika untuk pasokan Jakarta dan sekitarnya saja kurang dibutuhkan, apalagi untuk menopang sistem Jawa?. Dengan kapasitas maksimum 40 MW, PLTSa Jakarta tidak akan berpengaruh signifikan terhadap sistem interkoneksi eksisting dengan daya mampu sebesar 25,5 GW. Selain itu, neraca pasokan listrik Jawa dapat dikatakan sudah surplus. Tahun 2015, kelebihannya sekira 15%. Saya sarikan supply-demand listrik Jawa dalam grafik berikut.


Dari sini kita sama-sama bisa melihat bahwa posisi tawar pengelola listrik sampah DKI Jakarta sesungguhnya tidak cukup kuat dalam negosiasi tarif JBL. Di sisi lain, dengan skema harga yang diberikan PLN saat ini, keekonomian proyek PLTSa itu sendiri terancam jeblok alias less-feasible. Untuk mengantisipasi masalah ini, pengelola sudah memiliki rencana jalan keluar. Dan jalan keluar itu adalah ... subsidi.
  

Subsidi?

Pengelola listrik sampah DKI Jakarta berencana meminta subsidi kepada Pemerintah Provinsi jika negosiasi tarif JBL gagal mencapai kesepakatan. Opsi bentuk subsidinya sendiri ada dua kemungkinan, yaitu penambahan tipping fee (biaya pengelolaan) sampah atau subsidi harga JBL. Menurut saya pribadi, pemikiran subsidi dalam hal ini adalah hal yang sangat absurd. Siapa penerima manfaat dari subsidi listrik sampah ini, masyarakat Jakarta-kah atau pemangku kepentingan yang lain?

Jika penerima manfaat bukan masyarakat DKI Jakarta, maka subsidi harus diHARAMkan.

Sekarang mari kita bedah siapa saja pemangku kepentingan dalam urusan pembangkit listrik tenaga sampah Jakarta dan perannya. Pertama adalah Pemerintah RI cq Kementerian ESDM. Kepentingan KESDM adalah meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) pada bauran energi nasional, sesuai amanat dalam Peraturan Pemerintah (PP) 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Berdasarkan PP KEN, porsi EBT pada bauran energi primer nasional ditargetkan sebesar 23% dari total pasokan 362 juta TOE di tahun 2025 dan 21% dari 885 juta TOE pasokan energi di tahun 2050.

Target energy mix berdasarkan PP 79/2014.
Dengan kepentingan ini, KESDM akan memfasilitasi berbagai inisiatif pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT. Fasilitas bisa berupa dukungan kebijakan hingga menjembatani komunikasi antar pemangku kepentingan, seperti pengelola PLTSa dengan PLN misalnya.
.
Pemangku kepentingan berikutnya yaitu Pemprov DKI Jakarta cq Dinas Kebersihan. Kepentingan utama instansi ini adalah pengelolaan sampah. Tujuannya adalah mengatasi persoalan timbunan sampah di pusat produksi sampah, masalah pengangkutan, volume sampah yang terus meningkat, hingga keterbatasan lahan dan kapasitas TPST yang ada. Kehadiran PLTSa diharapkan bisa men-tackle soalan-soalan itu. Namun demikian, urusan listrik bukanlah main interest-nya. Kalau lah ada teknologi atau solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut secara efektif, tentu akan menjadi pertimbangan untuk digunakan. Meskipun solusi itu bukan berupa pembangkit listrik.  

Berikutnya ada Jakpro, perusahaan daerah yang ditugaskan untuk menangani PLTSa. Mulai dari investasi, pembangunan, hingga operasi. Manfaat yang diperoleh Jakpro dengan adanya pembangkit listrik tenaga sampah ini adalah keuntungan operasi dan kepemilikan 100% setelah 25 tahun. Dividen Jakpro akan masuk ke Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta setiap tahunnya.

Stakeholder lain yaitu Fortum Finlandia, perusahaan yang basis operasi utamanya di kawasan Nordik. Dalam hal ini, Fortum berkepentingan menjual teknologi ITF sekaligus memperoleh keuntungan operasi selama 25 tahun hingga transfer kepemilikan sesuai skema build-operation-transfer (BOT) yang disepakati.

Lalu, PLN. Perannya yaitu sebagai pihak yang membeli listrik yang diproduksi PLTSa, dan mendistribusikannya ke pengguna akhir. Dan terakhir, tentu saja, masyarakat DKI Jakarta sebagai penerima manfaat. Dalam hal ini ada dua manfaat yang diperoleh, yaitu kebersihan kota dan ketersediaan energi listrik.

Dari peta stakeholder ini kita bisa menerka dengan jelas bahwa, jika disetujui, subsidi akan disalurkan ke operator pembangkit untuk menutup selisih harga pembelian oleh PLN. Dengan kata lain, pihak yang terkena dampak langsung dari subsidi adalah Jakpro, dan Fortum sebagai mitra operasi. Sementara masyarakat Jakarta berada pada posisi terdampak sekunder, bahkan tersier. Dalam konteks ini, alur subsidi tidak menyasar secara langsung masyarakat. Subsidi akan dikeluarkan dari APBD DKI dalam bentuk opsi pembayaran kekurangan dari selisih harga JBL, atau tipping fee, tergantung mana yang nanti akan disetujui oleh Pemprov DKI. Pembayaran subsidi lalu disalurkan ke Jakpro. Keuntungan pengelolaan sampah dan pembangkit nantinya akan kembali ke APDB dalam bentuk dividen Jakpro sebagai unit bisnis milik Pemprov. Dana APBD kemudian digunakan oleh Pemprov untuk mengelola wilayah. Jadi sebetulnya dana ini berputar bolak-balik antara Jakpro dan APBD. Jika ada kelebihan penerimaan APBD dari siklus subsidi, ini berita bagus. Tapi jika yang terjadi justru defisit neraca anggaran, berarti musibah. Lantas, apakah akan untung atau rugi? Saya juga belum tahu. Tapi yang jelas, pihak Pemprov harus berani membuka data ini ke publik agar para pakar dan praktisi bisa men-challenge kebijakan ini.

Namun yang terpenting, dalam perspektif supply-demand tenaga listrik, PLTSa tidak berpengaruh terhadap pasokan listrik bagi warga Jakarta. Keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya. Bagi masyarakat ibukota, titik urgensinya bukan pada pasokan listrik, melainkan pada keberlanjutan pengelolaan sampah. Produksi listrik bisa menjadi benefit tambahan dari pengelolaan sampah, tapi bukan syarat utama agar sampah dapat dikelola. Dengan demikian sama sekali tidak ada alasan yang logis untuk dijadikan dasar penggelontoran subsidi bagi operasi pembangkit listrik berbasis sampah di DKI Jakarta.

Sustainabilitas PLTSa

Tiga perpektif yang ingin saya gunakan dalam membahas sustainabilitas PLTSa Jakarta, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Pada aspek sosial, PLTSa tidak berdampak secara signifikan. Justru perbaikan terhadap sistem transportasi sampahlah yang dapat mengurangi "keresahan" warga akan aroma busuk sampah dan tumpahan air lindi yang disebarkan truk-truk pengangkut sampah di sepanjang rute pengangkutan sampah. Perbaikan program 3R dengan melibatkan penduduk secara aktif, juga akan berdampak lebih positif terhadap kualitas mental sosial masyarakat ketimbang PLTSa yang hanya melibatkan segelintir stakeholder.

Dalam perspektif ekonomi, masyarakat Jakarta juga tidak terlalu terpengaruh dengan adanya PLTSa. Saat ini perekonomian ibukota yang -tidak bisa dipungkiri- ditopang oleh ketersediaan tenaga listrik sudah berjalan baik tanpa keberadaan PLTSa. Bagi Pemprov PLTSa dapat berperan sebagai penyumbang pendapatan daerah secara tidak langsung. Tapi tidak hanya itu, PLTSa juga dapat menjadi beban bagi anggaran daerah jika faktor-faktor pendukung keekonomian pembangkit tidak tercapai.

Dari sisi lingkungan, masalah timbulan sampah yang sudah menjadi persoalan klise dari zaman ke zaman akan dapat teratasi. Hanya saja yang lebih berperan di sini sebetulnya adalah ITF, bukan PLTSa. Jika ITF dan PLTSa dirancang sebagai satu kesatuan unit yang terintegrasi, maka harus dipastikan bahwa fokus operasinya adalah mengelola sampah, bukan berjualan listrik. Produksi dan penjualan listrik harus didudukkan sebagai bonus pengelolaan sampah. Bukan sebagai proyek berbasis perhitungan untung atau rugi. Sebab, ITF harus tetap beroperasi dengan berapapun volume sampah yang masuk. Baik itu banyak maupun sedikit. Dengan begini, keberadaan ITF dan PLTSa tidak akan berseberangan misi dengan program reduksi sampah di sisi hulu.

Dengan identifikasi tantangan sustainablilitas ini, kurang lebih sudah dapat terlihat titik-titik soalan terkait rencana pembangunan PLTSa. Selanjutnya, ketokan palu kebijakan ada pada stakeholder kunci, Pemrov DKI Jakarta. Apakah akan berfokus pada pengelolaan sampah, atau juga akan lanjut bermain di bisnis tenaga listrik, dengan beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan tentunya.

 

Tidak ada komentar

Leave a Reply