Culture

Regulasi BBM Zaman Jokowi

Dalam seratus hari pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merestrukturisasi skema subsidi dan penentuan harga energi yang selama ini dianggap sebagai liabilitas bagi anggaran negara. Dua sektor energi final yang dimaksud adalah listrik dan bahan bakar minyak (BBM).
 
Kita akan bahas soal listrik di kesempatan yang lain. Sekarang BBM dulu. Mumpung masih hangat. Jelang akhir tahun 2014, Jokowi meneken Peratutan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Regulasi ini berimbas pada penyusutan alokasi anggaran subsidi BBM, bahan bakar nabati (BBN) dan gas elpiji 3 kg sebesar hampir 200 triliun rupiah.

Perpres No. 191/2014 tidak hanya terkait perubahan harga, tapi juga memperkenalkan skema baru dalam subsidi BBM. Skema tersebut memperkenalkan tiga klasifikasi produk bahan bakar, yaitu BBM Jenis Tertentu, BBM Khusus Penugasan, dan BBM Umum (lihat Tabel 1).

Kategori pertama, BBM Tertentu. Mencakup solar dan minyak tanah. Produk-produk ini masih menerima subsidi. Skema subsidinya sbb:
  • Solar disubsidi dengan mekanisme subsidi tetap. Harga solar bisa bervariasi. Tapi margin subsidinya secara keseluruhan adalah tetap, yaitu Rp 1000,- per liter antara harga (jual) domestik dan harga pasar.
  • Minyak tanah disubsidi dengan mekanisme harga tetap. Ini artinya harga minyak tanah akan tetap sama, sementara biaya subsidi keseluruhan akan bergantung pada perbedaan aktual antara harga pasar dengan harga domestik tahunan.
Kategori lain yaitu BBM Khusus Penugasan. Masuk ke dalam kategori ini adalah Bensin jenis Premium yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan wilayah yang dianggap terpencil atau sulit dijangkau. Meskipun BBM jenis ini diberi label non-subsidi, namun sebenarnya masih menerima subsidi untuk mengkompensasi biaya distribusi. target yang ingin dicapai pada dasarnya adalah harga dari BBM khusus penugasan di wilayah terpencil harus sama dengan BBM yang dijual di wilayah pusat seperti Jawa. Realisasi dari kategori ini kita kenal dengan istilah Kebijakan Satu Harga BBM.

Kategori ketiga, BBM Umum, adalah jenis BBM yang benar-benar tidak disubsidi. Masuk ke dalam kategori ini adalah BBM golongan Perta. Hanya saja, masih menurut Perpres 191/2014, Premium untuk wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) juga termasuk ke dalam kategori BBM Umum. Bahan bakar ini akan didistribusikan pada harga yang telah disesuaikan dengan harga pasar di wilayah Jawa-Madura-Bali, yang merupakan pusat populasi dan kegiatan ekonomi Indonesia. Jadi sebetulnya, BBM jenis Premium di wilayah Jamali bukanlah BBM bersubsidi.

Kelangkaan Premium dan Revisi Aturan
Realisasi Perpres 191/2014 ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Yaitu kelangkaan Premium di Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum (SPBU) di wilayah Jamali. Kelangkaan ini sebetulnya cukup aneh karena berdasarkan regulasi tersebut Premium adalah jenis bahan bakar yang harganya sudah sesuai dengan harga keekonomian. Tidak disubsidi. Artinya Pertamina sebagai penyedia, mendapatkan keuntungan penuh dan tunai dari penjualan Premium sama seperti penjualan BBM non-subsidi lainnya.

Alasan demand yang menurun karena masyarakat beralih ke Pertalite dijadikan justifikasi bagi Pertamina untuk menghentikan penyaluran Premium ke lebih dari dua ribu SPBU di wilayah Jamali. Alasan ini masuk akal ketika selisih harga Premium dan Pertalite tidak seberapa jauh. Tapi menjadi tidak relevan ketika disparitas harga Pertalite - Premium semakin lebar, karena masyarakat cenderung kembali ke Premium. Dan saat akan beralih kembali inilah Premium sudah menghilang. Akhirnya Pertalite menjadi satu-satunya opsi BBM "murah" yang tersedia. Kondisi inilah yang sebenarnya memacu tingkat konsumsi Pertalite sekaligus menekan konsumsi Premium, yang terdokumentasi dalam statistik energi nasional pada rentang tahun 2015 - 2017.

Meski demikian, alasan yang paling realistis adalah Premium hilang karena faktor bisnis. Menjual bensin kelas Pertamax dan Pertalite lebih menguntungkan daripada Premium. Sehingga SPBU cenderung mengurangi bahkan menghapus Premium dan menggantikannya dengan Pertalite. Hal inilah yang menjadi salah satu temuan investigasi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS) beberapa waktu lalu.

Pemerintah kemudian merevisi regulasi lama (Perpres 191/2014) melalui penerbitan Perpres No. 43/2018 yang disahkan bulan Mei kemarin. Poin pentingnya ada 3:
  1. Premium tetap dikategorikan sebagai BBM Khusus Penugasan, tapi tidak lagi terkategori sebagai BBM Umum. 
  2. Wilayah Jamali tidak lagi dikecualikan dalam penyaluran BBM Khusus Penugasan. Pemerintah berhak mewajibkan Pertamina untuk menyalurkan Premium di wilayah ini.
  3. Harga Premium di Jawa-Madura-Bali ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), karena statusnya yang sudah dialihkan sebagai BBM Khusus Penugasan saja.
Sampai sini kita simpulkan dulu wewenang penentu harga BBM. Harga Minyak Tanah, Solar, dan Premium ditentukan Menteri ESDM. Harga untuk jenis BBM selain yang tiga itu ditentukan oleh Pertamina atau penyalur BBM lainnya.

Lalu apakah dengan statusnya yang sekarang sebagai BBM Khusus Penugasan, harga Premium kembali disubsidi Pemerintah? Tidak. Karena skema subsidi BBM Khusus Penugasan tidak berubah, yaitu subsidi untuk kompensasi biaya distribusi BBM. Untuk wilayah Jamali, biaya penyaluran dan distribusi sudah termasuk ke dalam struktur harga jual eceran di SPBU. Artinya berapapun harga Premium yang ditetapkan oleh Pemerintah, itu sudah pada tingkat harga keekonomian yang berbasis pada indeks harga pasar.
  

Tidak ada komentar

Leave a Reply